Salah satu masalah yang terdapat di
Indonesia adalah urbanisasi. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa
ke kota. Hal tersebut karena urbanisasi memiliki faktor penarik dimana
persediaan lapangan pekerjaan dikota lebih banyak jika dibandingkan di desa dan
pendidikan sekolah baik dari dasar hingga perguruan tinggi yang lebih baik
kualitasnya. Sedangkan pada desa mempunyai faktor pendorong untuk masyarakat
desa menuju kota karena lahan pertanian yang semakin sempit, pengangguran
karena tidak banyak lapangan pekerjaan
yang tersedia dan terbatasnya sarana dan prasarana di desa. Dalam fenomena
urbanisasi ini keuntungan yang akan didapatkan yaitu masyarakat akan semakin
modern dan pengetahuan masyarakat desa yang bertambah. Namun selain dampak
positif tersebut terdapat pula dampak negatif kyang didapatkan jika kota belum
siap menghadapi urbanisasi, urbanisasi mengakibatkan jumlah penduduk di suatu
wilayah akan semakin meningkat setiap tahunnya dimana juga dibutuhkan peningkatan
pelayanan dasar seperti kebutuhan rumah dan sistem pengelolaan perukiman. Jika
kota tidak siap untuk menghadapi fenoena urbanisasi maka yang terjadi adalah
backlog perumahan yaitu kekurangan jumlah rumah layak huni sehingga menyebabkan
tumbuhnya permukiman kumuh perkotaan.
Dari hal tersebut muncul isu pada
kawasan permukiman di Indonesia yaitu meningkatnya jumlah penduduk yang
bertempat tinggal di perkotaann menuntut penyediaan prasarana dan sarana dasar
permukiman yang memadai, keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dan daya dukung
lahan menjadi kendalam sarana dan prasarana dasar yang memicu tumbuh permukiman
kumuh, dalam mengurangi dan mencegah tumbuhnya permukiman kumuh diperlukan
upaya bersama pemerintah pusat, provinsi, daerah, masyarakat dan pemangku
kepentingan lainnya melalui program/kegiatan yang inovatif dan tepat guna. Nyatanya
pada tahun 2014, kekurangan jumlah rumah adalah 7,6 juta unit rumah (Perpres
No.2 Tahun 2015 tentang RPJMN Tahun 2015-2019). Luas kawasan kumuh pada tahun
2015 mencapai 38.431 Ha di Indonesia.
Dari angka luas kumuh yang besar
tersebut kemudian pemerintah bersiap untuk mengurangi luas kumuh dengan membuat
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2015-2019 mengamanatkan pembangunan dan pengembangan kawasan
perkotaan melalui pennaganan kualitas lingkungan hidup permukiman yaitu
peningkatan kualitas permukiman kumuh, pencegahan tumbuh kembangnya permukiman
jmuh baru dan penghidupan yang berkelanjutan, dari hal tersebut kemudian Direktorat
Jendral Cipta Karya membuat salah satu langkah mewujudkannya dengan
menginisiasi pembangunan platform kolaborasi melalui Program Kota tanpa Kumuh
(KOTAKU). Program merupakan upaya strategis dalam rangka meiningkatkanperan
masyarakat dan memperkuat peran Pemerintah Daerah dalam percepatan penanganan
kawasan kumuh dan menduku gerakan 100-0-100 di perkotaan pada tahun 2016-2020.
Pada program KOTAKU diharapkan
Pemerintah Daerah sebagai nahkoda dalam penanganan permukiman kumuh dan
menyiapkan masyarakat sebagai subyek pembangunan melalui revitalisasi peran
Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Dalam mengentaskan permukiman kumuh ini
sangat dibutuhkan kolaborasi baik dari tingkat pusat, tingkat provinsi amupun
tingkat kabupaten/kota. Setiap stakeholder sudah memiliki perannya
masing-masing. Nilai kobarasi yang diangkat pada program KOTAKU adalah bicara
tentang kita bukan hanya individu, mempunyai tujuan yang sama yaitu mengurangi
permukiman kumuh, tidak merasa berkompetisi dan terciptanya komunikasi atau
tranparansi. Salah satu cara agar kolaborasi antara tingkat pusat, tingkat
provinsi dan tingkat kabupaten/kota terjalin dengan baik adalah dengan
melakukan advokasi. Maka dari itu kolaborasi pada program KOTAKU perlu
direalisasikan bukan hanya di wacanakan untuk mewujudkan tujuan untuk
mengurangi luas permukiman kumuh di Indonesia pada tahun 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar