Laman

Rabu, 13 Desember 2017

KOLABORASI UNTUK KOTAKU BUKAN WACANA



Salah satu masalah yang terdapat di Indonesia adalah urbanisasi. Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Hal tersebut karena urbanisasi memiliki faktor penarik dimana persediaan lapangan pekerjaan dikota lebih banyak jika dibandingkan di desa dan pendidikan sekolah baik dari dasar hingga perguruan tinggi yang lebih baik kualitasnya. Sedangkan pada desa mempunyai faktor pendorong untuk masyarakat desa menuju kota karena lahan pertanian yang semakin sempit, pengangguran karena  tidak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia dan terbatasnya sarana dan prasarana di desa. Dalam fenomena urbanisasi ini keuntungan yang akan didapatkan yaitu masyarakat akan semakin modern dan pengetahuan masyarakat desa yang bertambah. Namun selain dampak positif tersebut terdapat pula dampak negatif kyang didapatkan jika kota belum siap menghadapi urbanisasi, urbanisasi mengakibatkan jumlah penduduk di suatu wilayah akan semakin meningkat setiap tahunnya dimana juga dibutuhkan peningkatan pelayanan dasar seperti kebutuhan rumah dan sistem pengelolaan perukiman. Jika kota tidak siap untuk menghadapi fenoena urbanisasi maka yang terjadi adalah backlog perumahan yaitu kekurangan jumlah rumah layak huni sehingga menyebabkan tumbuhnya permukiman kumuh perkotaan.
Dari hal tersebut muncul isu pada kawasan permukiman di Indonesia yaitu meningkatnya jumlah penduduk yang bertempat tinggal di perkotaann menuntut penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman yang memadai, keterbatasan kemampuan pemerintah daerah dan daya dukung lahan menjadi kendalam sarana dan prasarana dasar yang memicu tumbuh permukiman kumuh, dalam mengurangi dan mencegah tumbuhnya permukiman kumuh diperlukan upaya bersama pemerintah pusat, provinsi, daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya melalui program/kegiatan yang inovatif dan tepat guna. Nyatanya pada tahun 2014, kekurangan jumlah rumah adalah 7,6 juta unit rumah (Perpres No.2 Tahun 2015 tentang RPJMN Tahun 2015-2019). Luas kawasan kumuh pada tahun 2015 mencapai 38.431 Ha di Indonesia.
Dari angka luas kumuh yang besar tersebut kemudian pemerintah bersiap untuk mengurangi luas kumuh dengan membuat Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 mengamanatkan pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan melalui pennaganan kualitas lingkungan hidup permukiman yaitu peningkatan kualitas permukiman kumuh, pencegahan tumbuh kembangnya permukiman jmuh baru dan penghidupan yang berkelanjutan, dari hal tersebut kemudian Direktorat Jendral Cipta Karya membuat salah satu langkah mewujudkannya dengan menginisiasi pembangunan platform kolaborasi melalui Program Kota tanpa Kumuh (KOTAKU). Program merupakan upaya strategis dalam rangka meiningkatkanperan masyarakat dan memperkuat peran Pemerintah Daerah dalam percepatan penanganan kawasan kumuh dan menduku gerakan 100-0-100 di perkotaan pada tahun 2016-2020.
Pada program KOTAKU diharapkan Pemerintah Daerah sebagai nahkoda dalam penanganan permukiman kumuh dan menyiapkan masyarakat sebagai subyek pembangunan melalui revitalisasi peran Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM). Dalam mengentaskan permukiman kumuh ini sangat dibutuhkan kolaborasi baik dari tingkat pusat, tingkat provinsi amupun tingkat kabupaten/kota. Setiap stakeholder sudah memiliki perannya masing-masing. Nilai kobarasi yang diangkat pada program KOTAKU adalah bicara tentang kita bukan hanya individu, mempunyai tujuan yang sama yaitu mengurangi permukiman kumuh, tidak merasa berkompetisi dan terciptanya komunikasi atau tranparansi. Salah satu cara agar kolaborasi antara tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota terjalin dengan baik adalah dengan melakukan advokasi. Maka dari itu kolaborasi pada program KOTAKU perlu direalisasikan bukan hanya di wacanakan untuk mewujudkan tujuan untuk mengurangi luas permukiman kumuh di Indonesia pada tahun 2019.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar